Hobbit Adalah Keturunan Manusia Dari Dimensi Keluarga Yang Berbeda?

“Spesies ini mengalami perkawinan silang sehingga menciptakan keturunan baru.”
CANBERRA, Australia – Hobbit makhluk kerdil asal Flores, terus menimbulkan perdebatan di antara para ahli. Terbaru, ilmuwan menilai hobbit berhubungan dengan kompleksitas keluarga manusia.
Flores Island location in Indonesia
Hobbit seringkali dianggap spesies yang berbeda dari manusia karena bertubuh kecil, manusia yang menderita penyakit tertentu atau malah spesies berotak kecil yang mampu menggunakan alat.
Teori terbaru yang muncul di Journal of Human Evolution menyebutkan bahwa makhluk ini berasal dari keturunan manusia berdasarkan urutan sejarah pra-manusia setinggi 5 kaki yang punah lebih dari 12 ribu tahun lalu.
Studi yang dilakukan oleh John Trueman dari Australian National University ini menawarkan alternatif baru.
Workers excavate a cave at Liang Bua, Indonesia, on Monday, Sept. 12, 2009, where the 18,000-year-old skeleton of a dwarf cavewoman was found in 2003. There is growing consensus that Homo floresiensis, nicknamed “the hobbit,”and a dozen others found since then, are a new hominid species. AP / Achmad Ibrahim
Daripada menggolongkan hobbit dalam pohon keluarga manusia, Trueman memandang ‘pohon keluarga’ ini memiliki tiga dimensi yang saling berhubungan.
“Lebih baik menjelaskan hal ini dengan menganggap adanya kompleksitas keturunan jauh kita, di mana menjadi tempat segala macam spesies muncul jutaan tahun lalu”
“Sayangnya, ada beberapa hal yang memisahkan kemudian terjadi perkawinan dengan makhluk yang berbeda.
Ini termasuk kelompok spesies yang telah punah yaitu hobbit atau Homo floresiensis,” kata Trueman.
Trueman beragumentasi bahwa analisis multidimensional ini memberikan kejelasan soal sejarah hobbit kuno.
Makhluk ini diperkirakan merupakan keturunan Australopithecus africanus , spesies mirip kera yang hidup pada masa dua juta tahun lalu. Spesies ini mengalami perkawinan silang sehingga menciptakan keturunan baru.
Trueman juga setuju bahwa hobbit termasuk keturunan manusia kuno. Pernyataan ini turut pula diamini oleh Debbie Argue dari ANU.
“Trueman menampilkan hipotesis alternatif bagi perkembangan manusia daripada sekadar pandangan alternatif bagiHomo floresiensis,” kata Argue.
Argue juga melihat adanya kesamaan antara hobbit dengan manusia kuno lainnya dalam penggunaan alat.
Meskipun hobbit memiliki fitur primitif, bentuk kerangka tengkorak spesies ini sedikit mirip dengan keluarga manusia.
“Bentuk otak menjadi sangat penting untuk dipelajari daripada sekadar ukuran otak,” kata Argue lagi.
Flashback Tentang Hobit
Fosil kerangka kecil ‘hobit’ mirip manusia yang ditemukan di Liang Bua, sebuah gua kapur di Flores, tahun 2003 lalu terus jadi misteri dalam dunia arkeologi, apakah itu fosil anak kecil, atau manusia abnormal?
Pasalnya pemeriksaan tulang mengungkapkan kerangka tersebut bukan seperti manusia pada umumnya.
Fosil  wanita purba yang diperkirakan berusia 18.000 tahun itu jauh lebih kecil dari ukuran manusia purba lainnya.
Arkeolog terkemuka menasbihkan fosil itu sebagai nenek moyang baru manusia, Homo florensiesis yang disama-samakan dalam tokoh kerdil dalam film ‘Lord of The Ring’,  Frodo Baggins dan mendapat julukan ‘hobbit’.
Seperti diberitakan Discovery.com, penelitian terbaru yang dimuat dalam Jurnal Boogeography yang dipimpin Hanneke Meijer dari Pusat Penelitian Biodiversiti Belanda, menyajikan alternatif jawaban.
Catatan arkeologi menunjukkan, spesies nenek moyang manusia, ‘homo erectus’ datang ke Flores, Nusa Tenggara Timur, pada masa pertengahan jaman Pleistocene, antara 781.000 dan 126.000 tahun lalu.
Homo floresiensis tidak tampak di masa-masa akhir periode Pleistocene, antara 126.000 dan 12.000 tahun lalu.
Homo Floresiensis
Meijer yakin setelah masa isolasi Pulau Flores, homo erectus beradaptasi dan berkembang menjadi hobbit,  meski banyak arkeolog tak sepakat bahwa manusia purba dari Flores yang berbadan dan berotak kecil itu adalah metamorfosa dari homo erectus.
Kunci untuk memahami hobbit Flores, kata Meijer, adalah dengan mempersempit lingkup cara pandang, yakni fokus pada lingkungannya di Flores.
Dia menjelaskan, di Flores, menurut data fosil, beberapa penduduk pulau, termasuk reptil dan mamalia, memiliki pengalaman pengkerdilan (dwarfism) atau menjadi raksasa (gigantism).
Fakta menunjukan, bahwa kasus-kasus yang terjadi pada hewan yang terisolasi akan mengalami perubahan besar tubuh secara drastis karena perubahan pemangsaan atau sumber makanan.
Alih-alih melihat mundur, arkeolog harus melihat fenomena di Flores sebagai contoh adaptasi evolusioner. (sm/ar/vs/inl/icc.wp.com)

Posting Komentar